Pembelajaran Matematika
Menurut
kurikulum 2004 tujuan pembelajaran matematika SD adalah mengembangkan
kemampuan bernalar melalui kegiatan panyelidikan, ekspositoris dan eksperimen
sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai
alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan
gagasan. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, guru perlu mengembangkan metode
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak didiknya, dengan mengkaji
teori-teori pembelajaran yang ada. Secara
garis besar ada dua aliran dalam teori pembelajaran, yakni aliran psikologi
kognitif dan aliran behaviorisme.
Psikologi
kognitif (cognitive science) adalah
cabang ilmu psikologi yang mempelajari gejala-gejala mental yang bersifat
kognitif dan terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah. Menurut teori
belajar kognitif proses belajar
dipandang sebagai proses mengaitkan antara pengetahuan yang sudah dimiliki
seseorang di dalam struktur kognitifnya dengan pengalaman barunya. Oleh sebab
itu, teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana
dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori
belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan
oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar
peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik
dapat berkembang secara optimal melalui proses pendidikan (Atonartist 2012) . Beberapa pakar teori psikologi
kognitif adalah: Jean Piaget, David
Ausubel, Jerome Bruner, Mex Wertheimenr, Kohler, dan Kurt Lewin. Berikut adalah
pendapat beberapa tokoh psikologi kognitif tentang proses pembelajaran:
Jean
Piaget menyebut struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas). Skemata adalah kumpulan dari skema-skema. Individu dapat
mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan oleh
kerja skemata. Skemata membentuk pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Semakin baik kualitas skema, akan semakin baik pulalah pola penalaran anak
tersebut. Piaget berpendapat, proses
terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dalam diri individu
dengan stimulus baru dapat dilakukan melalui dua cara, yakni proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru kedalam
skemata yang telah ada secara langsung, sedangkan akomodasi adalah proses
pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak
langsung.
Piaget menyatakan bahwa faktor
utama yang mendorong perkembangan kognitif seseorang adalah motivasi atau daya
dari dalam si individu itu sendiri untuk mau belajar dan berinteraksi dengan
lingkungan. Skemata berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi
individu dengan lingkungannya (Fadjar Shadiq 2011) , oleh karena itu, individu yang
lebih dewasa memliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia
masih kecil. Piaget membagi tahap
perkembangan kognitif ke dalam empat tahap, yaitu:
1)
Tahap
Sensori Motor (usia 0 - 2 tahun)
Pada
tahap ini, anak memperoleh pengalaman barumelalui perbuatan fisik (gerakan
anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2)
Tahap
Pra Operasi (usia 2 - 7 tahun)
Tahap
pra operasional merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi
konkrit.
3)
Tahap
Operasi Konkrit (usia 7 tahun sampai 11 tahun)
Operasi
konkrit adalah tindakan-tindakan kognitif seperti mengklasifikasikan sekelompok
objek, menata letak benda berdasarkan urutan tertentu, dan membilang. Umumnya
anak-anak pada tahap ini sudah memahami konsep kekekalan, kemampuan
mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda
secara objektif, dan mampu berfikir reversible, namun kemampuan kognitif anak
pada tahap ini masih terbatas pada hal-hal nyata yang dapat dirasakan dengan
pancainderanya.
4)
Tahap
Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap
ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif. Pada tahap ini anak sudah
mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Anak mampu berpikir tentang objek
atau peristiwanya langsung yang tidak dihadapi secara langsun. Anak dapat
bernalar hanya dengan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi.
Perbedaan
teori Bruner dengan teori belajar yang lain adalah adanya prinsip discovery, yaitu belajar dengan
menemukan konsep sendiri. Menurut Bruner, pembelajaran hendaknya dapat
menciptakan situasi agar siswa dapat belajar dari dirinya sendiri melalui
pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang
khas baginya. Teori Bruner juga menuntut banyak pengulangan dalam proses
pembelajaran. Desain yang berulang-ulang itu disebut kurikulum spiral.
Kurikulum spiral menuntut guru untuk
memberi materi pelajaran tahap demi tahap dari yang sederhana ke yang kompleks.
Materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara
terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian
seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh (Fadjar
Shadiq 2011) .
Teori
Bruner menekankan suatu proses bagaimana seseorang memilih, mempertahankan, dan
mentransformasi informasi secara aktif. Dalam proses belajar, ketiga proses
tersebut selalu ada. Lama tiap proses tidak
sama. Hal ini antara lain bergantung pada hasil yang diharapkan,
motivasi belajar siswa, minat, dan keinginan untuk mengetahui serta dorongan
untuk menemukan sendiri. Tiga tahapan proses belajar menurut Bruner terdiri
atas:
1)
Tahap
enaktif;
Pada
tahap ini, siswa menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek secara langsung.
2)
Tahap
ikonik
Pada tahap ikonik, aspek kognitif peserta didik
mulai menyangkut aktivitas mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.
Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung objek-objek,
melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.
3)
Tahap
simbolik
Pada
tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi
kaitannya dengan objek-objek.
Penganut
aliran ini berpendapat bahwa proses pembelajaran terjadi melalui hubungan
antara rangsangan (stimulus) dan
tanggapan (response). Tokoh-tokoh
dari aliran tingkah laku(behaviorisme) diantaranya: Thorndike, Pavlov, Baruda,
Skiner, Gagne, dan Ausubel.
Teori Thorndike dikenal sebagai teori koneksionisme.
Thorndike berpendapat bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukkan hubungan antara stimulus dan respon (Farhan 2011) . Thorndike juga
memandang peserta didik seperti selembar kertas putih yang siap menerima
pengetahuan secara pasif, sehingga teorinya juga disebut sebagai teori
penyerapan..
Thorndike menekankan banyak memberi praktik dan
latihan agar siswa menguasai konsep dan prosedur yang dipelajari (Muhseto
2011, 1.9) .
b.
Teori Ausubel
Ausubel mengemukakan pentingnya pembelajaran
bermakna dalam pembelajaran matematika. Kebermaknaan pembelajaran akan membuat
kegiatan belajar, lebih menantang, lebih menarik, dan lebih bermanfaat,
sehingga konsep dan prosedur matematika yang diajarkan, lebih mudah dipelajari
dan lebih lama bertahan dalam memori siswa (Muhseto 2011,
1.9) .
c.
Teori Gagne
Menurut Robert M.Gagne pembelajaran harus dikondisikan
untuk memunculkan respons yang diharapkan. Gagne berpendapat, belajar
matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung (Farhan 2011) . Objek langsung
dalam pembelajaran matematika terdiri atas: fakta - fakta matematika, ketrampilan-ketrampilan
matematika, konsep-konsep matematika, dan prinsip-prinsip matematika. Sedangkan
objek tak langsung dalam pembelajaran matematika adalah: kemampuan berfikir
logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan,
dan ketelitian.
Comments
Post a Comment